Puing Lama Kota Kendari

Gerry Junus
4 min readOct 11, 2020

--

“Ya, kalau sudah proyek besar begini, bagaimana kita bisa mengelak,” ujar seorang bapak kepadaku. Aku tidak sempat tanya namanya, yang jelas rukonya digusur. Padahal menurut dia, kawasan Kota Lama seharusnya direvitalisasi. Seketika pesawat Alfon mendarat di tepi sebuah beton yang besar. Ia mengambil, lalu melempar setinggi-tingginya.

Lama rasanya tidak ke Kendari. Dua tahun mungkin, dan tentunya banyak yang terlewatkan selama itu. Pemilihan Gubernur 2018 misalnya, petahana Ali Mazi kembali terpilih. Jelas tidak mengejutkan. Namun yang membuat aku tertarik untuk mengetahui tentang Ali Mazi adalah proyek Jembatan Bahteramas yang sedang dibangun (baru kemudian aku baru tahu kalau ini adalah proyek sejak Nur Alam menjabat). Proyek ini telah menggusur Kota Lama Kendari yang sudah berdiri sejak 1883. Dulunya tempat ini dihuni oleh etnis Tionghoa pengerajin Perak. Tentunya aku tidak akan heran jika program pemerintah selalu begini.

Kota Lama ini berada di Teluk Kendari. Tercatat pada tahun 1955 ketika konflik politik terjadi, tokoh masyarakat Kendari berkumpul dan melakukan musyawarah untuk membentuk pasukan swakarsa penjaga masyarakat. Dulu pernah berdiri pula Bioskop Kota Lama. Tempat ini adalah memorial bagi orang-orang tua yang ada di Kendari karena pernah menghabiskan masa muda di tempat tersebut. Intinya tempat ini menyimpan banyak kenangan.

Sebuah pesawat mendarat di kakiku, dibelakangnya seorang gadis berlari mengejarnya. Ia memungut pesawat dan menjatuhkan pandangannya ke arahku. Ku balas dengan senyuman. Gadis tadi menerbangkan pesawatnya kembali. Tidak begitu tinggi. Kemudian jatuh diantara silinder beton sebesar batang pohon kelapa. “Wartawan dik?” tanya seorang bapak yang muncul dari ruko. Aku menggeleng. “Cuma mengabadikan foto, om.” Ia kembali masuk. Pikirku dia pekerja di sini. “Foto saja yang banyak mumpung masih bisa, walau tinggal sisa. Di mana rumahmu?” tanya bapak tadi yang rupanya pemilik ruko. Aku menjelaskan tentang rumah Kemaraya dan asalku yang dari Jawa. Ia paham dan menjelaskan. “Tempat ini digusur. Sayang sekali. Peninggalan begini seharusnya dilindungikan?” Sembari tanggannya mengunci pintu ruko. Alfon menghampiri dan berbicara dengannya. Pelan, dan aku tidak mengerti karena dialeknya kental sekali. “Sudah akan dirobohkan semua, om?” Ia melempar pandangannya dari ujung jembatan hingga ke belakang. “Sudah. Rumah terakhir sepertinya juga sudah dirobohkan,” tangannya menunjuk rumah paling ujung dari jalan yang diratakan tanahnya.

Alfon menerbangkan kembali pesawatnya. Tempat ini adalah kenangan, barangkali ketika Alfon besar nanti. Bagiku, seorang yang asing terhadap tempat ini dimasa lalu, masih bisa merasakan bagaimana hiruk pikuk orang-orang lalu lalang. Bagaimana orang berdagang, mengantri untuk menonton film, atau sama seperti yang dilakukan Alfon. Bermain tanpa memikirkan bagaimana masa depan tempat ini nanti.

tulisan ini mulanya dimuat di ditanahsengketa.com pada Januari 2020.

--

--